Sekali saja, coba tanyakan kepada hatimu, sebenarnya KKN itu untuk pengabdian yang agung itu, atau kepentinganmu sendiri?
Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah suatu bentuk kegiatan pengabdian yang dilakukan oleh mahasiswa kepada masyarakat. Tidak sedikit yang menganggap KKN hanya sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana. Itu semua tergantung dari niat diri kita sendiri. Tapi tulisan ini tidak membahas tentang pemaknaan KKN, terlalu berat. Tulisan ini akan berbicara mengenai hal-hal yang harus dihadapi oleh peserta KKN. Mereka yang biasa hidup di kampus saja dan bersosialisasi kepada dosen menggunakan bahasa formal, diharuskan bercengkerama sederhana dengan masyarakat desa. Mereka yang biasa mengabaikan sama sekali nilai sopan santun ketika bersama teman mahasiswanya, diwajibkan untuk menjunjung tinggi norma kesopanan kepada tokoh masyarakat desa. Saya akan lebih khusus membahas permasalahan KKN bagi Mahasiswa Universitas Islam Indonesia.
Secara umumnya, langkah pertama bagi para mahasiswa untuk dapat mengikuti KKN adalah melakukan pendaftaran. Sebagai bentuk persetujuan dari pihak keluarga, mahasiswa diharuskan menyerahkan surat izin bermateri yang ditandatangani oleh orangtuanya kepada Direktorat Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat (DPPM). Itu tantangan yang teramat mudah, jelas tidak akan menjadi kendala yang berarti. Tantangan berikutnya yang siap menanti adalah pesantrenisasi. Bentuk kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan bekal kepada mahasiswa agar menjadi siap ketika menjalani KKN. Isinya adalah penyampaian materi dan praktikum. Diantaranya bagaimana cara menjadi pembawa acara yang baik, bagaimana menentukan proker yang tepat, sampai bagaimana cara melakukan sholat jenazah yang benar. Sedikit informasi, diketahui pernah ada Mahasiswa UII yang ditunjuk warga untuk menjadi imam sholat jenazah. Namun ketika menjadi imam dia sujud di samping jenazah itu. Sontak para makmum terkejut. Itulah kenapa pesantrenisasi KKN penting.
Tantangan berikutnya menjadi semakin berat. Mahasiswa KKN diharuskan berkelompok dengan mahasiswa lain yang berbeda jurusan, berbeda fakultas, dan mungkin sebelumnya tidak saling mengenal sama sekali. Dengan waktu perkenalan yang begitu singkat, para mahasiswa diwajibkan selama satu bulan penuh untuk tinggal bersama dan bahkan serumah di desa yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Dalam waktu yang singkat itu, mereka yang belum saling mengenal dengan baik, belum mengerti karakter satu sama lain, harus menunjuk atau ditunjuk untuk menjadi ketua unit, sekretaris, dan bendahara. Hal ini cukup baik untuk melatih kesiapan mental para mahasiswa.
Selanjutnya adalah “daya kejut” yang dimiliki KKN. Ya, karena hal selanjutnya adalah pemberitahuan lokasi di mana mahasiswa harus menjalani KKN. Ada yang di Kulon Progo, Klaten, Gunung Kidul, Pakem, dan lain sebagainya. Mereka yang mengerti jika mendapatkan tempat yang daerahnya masih terpencil, susah sinyal, jauh dari perkotaan, adalah yang seharusnya paling terkejut. Tapi bagi mereka yang mengetahui bahwa tempat KKN nya tidak jauh dari kampus – seperti di Pakem – mungkin juga tidak kalah terkejut.
Menjelang hari H pelaksanaan, mahasiswa disibukan dengan persiapan yang harus dilakukan. Mulai dari baju ganti, alat kecantikan, peralatan mandi, piring, alat tulis, modul KKN, sampai dengan persiapan plang penunjuk posko dan sewa jasa angkut. Sebelumnya juga biasa dilakukan survei ke lokasi. Agar mereka bisa mempersiapkan bekal yang tepat untuk dibawa hidup selama satu bulan di sana.
Rapat juga sering diadakan oleh masing – masing unit. Pembahasan mengenai Program Kerja (Proker) unit yang harus dikerjakan bersama, sampai proker dari masing – masing individu yang juga harus dibahas agar tidak terjadi rebutan. Karena bukan tidak mungkin, proker yang sama ingin dikerjakan oleh lebih dari satu mahasiswa dalam satu unit.
Hari pertama mengunjungi posko adalah hari di mana mahasiswa harus menyesuaikan diri dengan tempat yang akan mereka tinggali selama satu bulan. Kamar mandi adalah salah satu perhatian utama mereka. Haruskah mereka menimba secara manual? Amankah ketersediaan air bersih? Amankah dari pandangan orang luar? Ini juga merupakan bentuk tantangan yang lainnya.
Biasanya jenis posko yang ditinggali ada dua. Posko yang menjadi satu dengan pemilik rumah dan yang tanpa pemilik rumah. Masing masing memiliki kesan tersendiri. Mahasiswa yang tinggal di posko dengan tuan rumah harus selalu memikirkan etikat sopan santun setiap harinya, bahkan setiap detiknya. Jelas mereka wajib untuk tidak mengganggu si pemilik rumah. Ketika sedang lembur mengerjakan laporan, dilarang berisik sama sekali. Kecuali bagi mereka yang tak memiliki perasaan yang peka, hal ini tak akan jadi masalah. Mahasiswa juga harus memperhatikan kapan waktu yang tepat untuk menggunakan kamar mandi atau dapur. Agar tak mengganggu si pemilik rumah.
Di minggu awal KKN, kualitas proker akan diuji. Banyak pertimbangan yang harus benar – benar dipikirkan. Karena bukan tidak mungkin, proker yang telah disusun secara gilang gemilang di awal, menjadi berbalik arah dengan dramatis. Alasannya banyak, ada warga yang menolak, situasi di lokasi tidak sesuai dengan ekspektasi, atau bahkan cara penyampaian proker pada saat sosialisasi tak mampu menggerakan masyarakat untuk ikut serta. Jangan harap proker akan berjalan dengan lancar tanpa bantuan masyarakat. Karena ingat, proker itu untuk masyarakat (seharusnya). Bagaimana bisa berjalan dengan baik kalau mahasiswa tak mendapatkan uluran tangan dari mereka? Dan yang tak kalah penting adalah cara penyampaian di saat sosialisasi proker. Berbicara panjang lebar mengenai diksi ilmiah yang menggunakan kosa kata tingkat tinggi itu tak akan membuat masyarakat menjadi takjub. Sama sekali tidak, justru akan mempersulit mahasiswa itu sendiri.
Minggu pertama mempunyai tantangan tersendiri. Mahasiswa harus, mau tidak mau, wajib untuk berkenalan dan bersosialisasi dengan warga. Mengetahui siapa ketua RT, ketua RW, ketua Karang Taruna, Pak Lurah, Pak Carik, dan yang tak boleh dilupakan adalah berkenalan dengan para pemuda. Jika mahasiswa sudah mendapatkan hati dan simpati dari semua orang itu, maka KKN akan menjadi indah, dan segala proker akan berjalan dengan mudah. Tapi jika sebaliknya yang terjadi maka bayangkan saja sendiri.
Hari-hari berikutnya diisi dengan banyak hal. Mahasiswa tidak bisa mengerjakan proker melulu. Mereka juga diwajibkan untuk ikut kerja bakti, nyinom (menjadi pelayan di acara pernikahan), tahlilan, dan lain sebagainya. Maka dari itu mahasiswa dituntut secara paksa untuk dapat membagi waktu antara kegiatan bermasyarakat dan proker yang harus dikerjakan. Belum lagi setiap jam dan menit dari kegiatan kegiatan itu mesti ditulis di dalam buku harian KKN. Dan lagi lagi, harus meminta tanda tangan dari perwakilan masyarakat. Kewajiban dari kampus itu yang kadang membuat mahasiswa kehabisan banyak waktu untuk bersosialisasi demi mengisi buku kegiatan KKN. Dan dalam kasus ini, bukan hal yang tabu jika mahasiswa melakukan sedikit “modifikasi” pada berkas berkas KKN itu.
Bersosialisasi dengan masyarakat adalah kegiatan seni. Mahasiswa harus melupakan kedudukan ke-Maha-annya itu. Mereka harus bisa mencair dan menjadi satu dengan masyarakat. Memahami ketika sedang diajak ngobrol. Memperhatikan dan mempedulikan. Mahasiswa tidak boleh segan untuk menyapa ketika berpapasan dengan masyarakat di jalan. Segala bentuk keangkuhan, harus dilenyapkan. Mahasiswa tidak boleh lupa, bahwa sebenarnya mereka adalah pendatang.
Mahasiswa yang mampu beradaptasi dengan baik, akan merasakan jiwanya hidup bermasyarakat. Nilai nilai gotong royong, saling membantu, saling peduli, kekeluargaan, akan mereka dapatkan. Tentu saja, itu akan sangat langka dijumpai di lingkungan kampus. Maka bagi kau calon mahasiswa KKN, resapilah intisari dari pengabdian mu. Resapilah kehidupan mu ditengah tengah masyarakat yang baik hatinya itu