Siapa yang tak kenal Bogel. Dia makhluk istimewa dari spesiesnya – manusia. Manmun, seorang kawannya, bahkan menyebut Bogel sebagai salah satu masterpiece dari Sang Pemilik Kekuasaan Sejati. Meski dirasa berlebihan, tetapi kita tahu, Manmun hanya membesarkan hati Bogel. Hati seorang kawan yang hidupnya melarat.

Bogel, bila didata oleh Badan Pusat Statistik kemungkinan besar, ia termasuk ke dalam golongan masyarakat miskin atau bahkan gelandangan. Hidupnya luntang-lantung di jalanan, tak jelas arah hidupnya. Bogel tidak mempunyai rencana hidup jangka pendek, menengah, ataupun panjang. Bila diibaratkan sebuah desa, sangat mungkin ia tergolong ke dalam desa yang sangat tertinggal. Oh, malangnya.

Tetapi, melihat nasib malang kawannya itu, Manmun tidak sedikitpun meneropong kesedihan terpaut di wajahnya. Bogel tetap teguh dalam berpendirian, punya kemerdekaan berpikir, keputusan hidup yang ia jalani tidak berdasarkan petunjuk ketua umum partai politik, tidak berdasarkan bisikan kolega kanan-kiri, apalagi berdasarkan uang. Bogel begitu murni. Keputusan hidupnya merdeka, diliputi kebahagiaan, otentik, dan tidak diinfiltrasi anasir apapun. “Begitulah Bogel,” gumam Manmun.

Hujan di bulan Maret mengguyuri bumi. Bogel tampak duduk di beranda rumahnya. Dihirupnya kopi pahit bikinan sendiri. Dibukanya lipatan koran edisi dua hari yang lalu. Maklum, Bogel tidak mampu membeli edisi terbaru. Koran tersebut pemberian seorang satpam SMP dekat rumahnya. “Daripada aku buang, mending kau bawa saja, Gel,” begitu kira-kira kata si satpam.

“Dasar perampok!” ketus Bogel sambil memegangi koran. Diusap-usapnya salah satu halaman koran itu. “Ini enggak salah tulis kan!” ujarnya. Belum sampai satu menit ia membuka lipatan koran, berbagai komentar alias umpatan keluar dari mulut manusia yang tak pernah sekolah itu.

Baca Juga:  Ketika Mesin Waktu dan Lubang Hitam Bertemu

Di dalam pemberitaan koran tersebut, diketahui bahwa ada seorang gubernur menerima suap terkait pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD). Kemudian, di halaman berikutnya, diberitakan juga seorang bupati ditangkap karena kasus korupsi dana APBD. “Kalian berdua itu bukan pemimpin, tapi perampok!” serbu Bogel.

“Untuk apa kalian sekolah? Kalau jadi manusia macam begini. Sekolah sampai S1, S2, es teh empat, bakwan dua, tempe mendoan tiga. Tetap saja ujung-ujungnya menyalahgunakan kekuasaan, tetap saja kelimpungan apa itu martabat, apa itu akhlak,” Bogel terus mencerocos.

“Bikin malu orang-orang yang sudah dicap sebagai orang terdidik. Bikin malu kaum intelektual, kaum akademis. Diberi kekuasaan secuil makin tidak paham hakikat manusia, kebingungan hakikat pemimpin,” tambah Bogel.

Pagi itu, Bogel berkoar-koar sendiri. Hanya angin, debu, kucing dan tikus yang saling berkejar-kejaran menjadi penyimak ceramah pagi dari Cik Bogel.

Bogel menatap langit. Menengadah. Pandangan matanya melompat jauh ke hamparan langit. Sinar matanya menyiratkan ia sedang merenungkan sesuatu yang begitu mendalam.

Kucing dan tikus yang asyik saling berkejaran tadi sekonyong-konyong berhenti. Mereka terpaku memelototi Bogel. Lama nian Bogel merenung. Kopi panasnya mulai mendingin.

Perlahan Bogel menutup korannya. Ia selonjorkan kakinya di pagar bambu beranda rumahnya. Kursi reot yang ia duduki berderit. Tampak di sebelah Timur rumahnya anak-anak berlarian mengejar layang-layang, kemudian lenyap. Teriakan mereka tak terdengar lagi. Sunyi, persis seperti hati Bogel.

“Mereka berteriak ‘Saya Indonesia’ tetapi di dalam hatinya ‘Indonesia untuk Saya’. Pekikan ‘Saya Indonesia’ dijadikan instrumen untuk menguasai Indonesia. Indonesia dijadikan ‘lahan basah’ untuk dirampoki tanah dan airnya, dilucuti harga dirinya agar tidak punya kepercayaan diri sebagai bangsa. Teriakan nasionalisme dijadikan alat untuk menipu kami, rakyat kecil yang belum tahu esok makan atau tidak,” kata Bogel dengan suara tertahan.

Baca Juga:  Resensi On Your Wedding Day

Indonesia, tanah-air yang diwariskan oleh leluhur untuk dijaga dan diolah dengan tujuan keadilan dan kemakmuran bersama, dirampok habis-habisan oleh sekelompok orang. Indonesia, tanah-air yang peradabannya dikagumi oleh bangsa-bangsa lain, mengalami dekadensi karena ulah sekelompok orang.

Ikrar dari sekelompok orang ini yakni Saya Indonesia tetapi pekerjaan utama mereka ialah Indonesia untuk saya.

“Kenapa tidak kalian padatkan Indonesia, lalu kunyah dan telanlah Indonesia. Bila perlu, kalian kunyah habis bumi ini, jangan tanggung-tanggung, kunyah habis Galaksi Andromeda, Bima Sakti,” ucap Bogel lirih.

Birokrasi bersih, punya integritas dan anti korupsi, hanya dijadikan jargon politik untuk kemulusan jalan agar mendapatkan kekuasaan. Jargon yang nirpelaksanaan itu hanya jadi etalase penghias rumah demokrasi. Ucapan bagai lukisan. Begitu indah, tapi realitanya hanya diindah-indahkan.

Politik bukan dijadikan alat untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi untuk menjamin kelangsungan hidup dari sekelompok orang. Sekelompok orang ini layakkah disebut pengkhianat? Bukankah mereka diamanahi untuk mencapai sila kelima Pancasila? Lalu kenapa mereka gunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dengan cara merampok? Bukankah itu sebuah bentuk pengkhianatan?

Beberapa waktu kemudian, di kejauhan Bogel melihat Manmun sedang melaju bersama sepeda tua miliknya. “Mun! Mun! Ke mana kau?” teriak Bogel. Mendengar teriakan kawannya, Manmun berhenti. Ia menepi ke rumah Bogel.

“Kenapa Gel?” tanya Manmun.

“Kau mau ke mana?” timpal Bogel.

Baca Juga:  Menggusur Budaya Apatis dengan Budaya Menulis

“Cuma mau keliling kampung, mau ikut enggak?”

“Ah, aku mau santai-santai sambil ngopi. Kau lanjut sajalah.”

“Ah kau, aku sudah terlanjur berhenti. Buatkan aku kopi-lah.”

“Bikin sendiri sana.”

Manmun mengernyitkan dahi. “Sama tamu jangan begitu, kawan,” kata Manmun. Mendengar itu, Bogel melengos lalu melenggang ke dalam rumah. “Aih, begitulah jadi kawan yang baik,” Manmun terkekeh.

Tak berapa lama, Bogel keluar membawa secangkir kopi panas. “Mokasih banyak, kawan. Baik nian memang kau ni,” puji Manmun.

“Basa-basimu, Mun. Besok gantian kau yang suguhkan kopi,” timpal Bogel. Tanpa diperintah, Manmun langsung menyeruput kopi itu.

Bogel membuka percakapan. “Mun, aku barusan membaca berita di koran. Isinya ada gubernur dan bupati tersandung kasus suap dan korupsi,” ucap Bogel. Manmun menyimak.

“Sudah aku bilang, jangan mudah percaya sama teriakan mereka itu. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, rakyat memang harus waspada dan mulai memikirkan persoalan kepemimpinan ini. Kalau tidak, sebagai negara, kita tidak akan maju peradabannya.”

“Ingat kan sila kedua Pancasila? Kemanusiaan yang adil dan beradab. Itu tugas kita semua!” tegas Manmun.

“Maksudmu kita punya tugas melahirkan manusia adil dan beradab?”

“Betul.”

“Lah, itu kan tugasnya pemerintah. Sekelompok orang yang digaji untuk melakukan semuanya.”

“Iya, tapi kau lihat realitanya, Gel.”

Senja menjelang, sang surya semakin condong, sinarnya mulai meredup dan berwarna jingga. Jalanan sunyi. Demikian juga hati Bogel dan Manmun. Sunyi menerpa hati kedua mahkluk itu di tengah hiruk-pikuk kasus suap dan korupsi.

Penulis adalah Pemimpin Umum LPM Profesi FTI UII Periode 2015/2016.
*Dimuat di Minangkabaunews.com pada 21 Maret 2018

Bagikan: