Bila perusahaan dan organisasi di berbagai tempat saja mulai mendigitalisasikan diri seelok mungkin, maka mengapa kita di UII juga tidak turut mendigitalisasikan diri?
Corona benar-benar membuat pengurus organisasi ketar-ketir. Kita bingung di organisasi: gimana caranya buat rapat? Lalu kegiatan yang sudah direncanakan di matriks patutnya diapakan? Terus, alokasi dana untuk kegiatan anu-dan-anu dikemanakan? Pertanyaan itu memutar otak kita, dan selalu kemudian terjawab dengan satu frasa: kita buat forum online saja!
Forum online pun dibuat dengan berbagai rupa. Kajian online, diskusi online, seminar online, rapat online, bahkan musyawarah besar pun online. Semua online-isasi itu menakar akal kita, hingga memberikan kesan bahwa banyak sekali fasilitas online yang tidak pernah kita gunakan sebelumnya.
Ya, kita tidak pernah menggunakan fasilitas online untuk organisasi, selain chat di grup media sosial. Kita menyibukkan diri dengan pertemuan offline, dimana harus mengumpulkan massa terlebih dahulu. Kita berkutat pada pengadaan janji untuk bertemu, atau segala formalitas adab yang seakan menegasikan segala sisi positif tentang pertemuan online. Pertemuan online tidak pernah dilirik, sehingga tatkala pandemi virus Covid-19 ini mewabah, kita cukup bingung bagaimana cara mengadakan pertemuan online.
Dari perihal ini, kita menyadari, bahwa digitalisasi fasilitas kita masih terbilang minim. Kita sadar, ternyata beberapa kegiatan dan produk organisasi kita masih sama sekali tidak bisa diakses, melainkan dengan interaksi fisik. Pakta-pakta, serta surat undangan, juga tak jarang selalu saja dibentukkan dalam kertas bertinta; yang sama sekali tidak bisa ditemui dalam berkas digital. Berkali-kali, saya pribadi, harus menolak ajakan bertemu dari beberapa pihak, yang meminta saya sekadar untuk menerima surat tertentu dalam bentuk fisik. Karena stereotipnya, adab yang paling mulia adalah dengan bertemu, meski hanya untuk perihal kecil seperti mengantar surat. Padahal, tidak mesti begitu; adakalanya bertemu itu riweuh!
Maka, daripada surat undangan itu saya tolak, saya minta saja hasil scan dokumen tersebut. Atau seminimalnya, dengan foto sederhana yang bisa dibaca. Karena toh, yang penting dari perihal itu ialah pesan inti dari dokumen tersebut. Apa kemudian saya memandang pengantar surat yang tidak bertemu dengan saya itu tidak beradab? Tidak demikian, malah saya berterima kasih, sebab sesuai permintaan saya agar cukup dikirim via online saja.
Urusan adab, memang erat dengan karakter masing-masing pribadi. Ada yang suka bertemu fisik, ada yang lebih suka mempermudah agenda dengan digitalisasi via online. Tiap orang ada preferensi. Adapun dari kesadaran ini, kita perlu mulai memahami bahwa tidak semua kemuliaan adab itu selalu ada pada pertemuan fisik. Bisa jadi, pertemuan online itu lebih mempermudah, dan lebih cocok dengan permintaan pasar—atau publik—terhadap peran organisasi. Malah, dari hampir nihilnya adab yang mendukung pertemuan online, kita mulai sekarang seperti harus dituntut untuk mengadakan adab yang mendukung digitalisasi itu.
Lain hal dari adab, kita juga perlu memperhitungkan visibilitas dan aksesibilitas organisasi di hadapan mitra, bahkan juga publik. Terkadang kita sulit mendapat informasi atau legalitas dari suatu organisasi, kecuali harus berurusan langsung dengan orang yang mengerti dan berpentingan dari organisasi itu; sebab informasi dan legalitas itu tidak bisa didapat melalui web, chat, atau interaksi online. Lebih sulitnya lagi, ketika hendak meminta informasi atau legalitas pun, dicenderungkan untuk dilakukan dengan temu fisik. Jujur, terkadang hal itu membuat malas. Ada kalanya, orang yang berkepentingan di sekretariat organisasi itu tidak ada. Malah, bisa jadi sering. Beberapa kali darinya pun kita hadapi masalah dari hal ini. Akibat tidak bisa ditemuinya orang secara fisik di sekretariat atau dimanapun itu, maka urusan birokrasi dan legalitas yang diperlukan pun juga tidak bisa didapat. Entah, apakah tidak bisa ditemuinya itu disebabkan perihal agenda kuliah, kerja, sakit, atau mungkin sedang tidak ingin di lokasi sekretariat; yang jelas, hal itu memperlambat kinerja organisasi dan pihak-pihak lain yang bergantung kepadanya.
Dengan keluhan yang seperti ini, kita sepatutnya berpikir, bahwa digitalisasi berkas dan segala hal itu memang juga diperlukan untuk mempermudah kinerja organisasi. Seperti misal, cap legalitas, itu cukup menjadi soal besar ketika orang yang memegang cap memang sangat sulit untuk ditemui secara fisik. Ada organisasi —dengan tidak disebutkannya nama, yang hingga terkatung-katung, tidak jelas progres kerjanya hingga beminggu-minggu, karena digantungkan oleh orang berkepentingan yang tidak juga bisa ditemui untuk diminta cap legalitas. Kasus ini, mengajarkan betapa pentingnya permudahan birokrasi dan interaksi organisasi secara online. Sekiranya cap legalitas itu didigitalkan, tentu kejadian organisasi yang terkatung-katung itu juga insyaAllah tidak akan terjadi.
Kalau dari pengalaman saya pribadi, saya mempersilakan sekretaris organisasi untuk menggunakan tanda tangan digital saja dalam penyuratan. Sebelumnya, memang beberapa kali penandatanganan beberapa berkas itu dilakukan dengan temu langsung; misal saya harus ke fakultas sang sekretaris, atau sekretaris yang ke fakultas saya. Tapi karena ribetnya tata cara yang demikian, maka sekretaris pun meminta agar penandatanganan cukup dengan tempel gambar tanda tangan di aplikasi Word saja. Hal ini segera saya terima; asal dengan syarat tanda tangan tersebut dipergunakan dengan amanah. Di kemudian waktu pun urusan-urusan alhamdulillah menjadi lebih mudah. Tidak ada pandangan buruk dan kurangnya etika dalam praktik seperti ini.
Adapun lagi, perihal lain ialah tentang rapat dan musyawarah. Sekarang benak: apakah kita pernah terpikir mengadakan rapat dan musyawarah online, sebelum pandemi Covid-19 ini? Umumnya tidak, atau seminimalnya hanya dilaksanakan 2-3 kali; itupun sebagai wujud penghindaran sulitnya pertemuan fisik, bukan sebagai hal yang disengaja dan direncana. Tatkala pertemuan online dilaksanakan, beberapa orang kemudian berdalih sulitnya fasilitas untuk online, atau berbagai alasan yang serupa. Ini pun menjadi refleksi; betapa kita memang tidak terbiasa dan tidak memfasilitasi diri untuk praktik online. Ini juga perlu diperbaiki.
Sedihnya, bagi organisasi yang sulit untuk melakukan pertemuan secara fisik, terkadang menjadi sama sekali tidak mengadakan pertemuan apapun. Misal, organisasi yang tidak memiliki sekretariat sendiri, jelas sulit mencari tempat bercengkerama. Tidak adanya tempat rapat dan silaturahmi yang pasti, malah menjadikan organisasi tersebut hanya mampu bertemu dalam momen-momen tertentu. Hal ini tidak bisa disalahkan, sebab tidak semua organisasi sempat dan berkemampuan untuk memiliki sekretariat secara fisik tersendiri. Maka, ketika perihalnya seperti itu, betapa patut organisasi yang demikian ini mulai beralih ke alternatif pertemuan online. Rajin-rajinkan rapat dan diskusi online, dengan pemakluman agar anggota organisasi tetap stay in fit satu sama lain.
Terakhir, ialah instrumen dan inventaris organisasi, juga perlu didigitalisasi. Instrumen dan inventaris yang dimaksud ialah catatan matriks, notulensi, peraturan dasar, bahkan hingga buku bendahara. Kalau dalam kasus saya pribadi, saya sempat meminta kepada bendahara organisasi untuk mendigitalisasikan buku bendahara di Google Sheet. Alhamdulillah, bendahara saya pun mengikuti perihal tersebut. Darinya, saya bisa melihat catatan pemasukan dan pengeluaran dengan mudah secara detail, tanpa perlu meminta pertemuan fisik untuk sekadar mengintip buku bendahara; yang jelas mempersulit. Bahkan, transformasi instrumen bendahara menjadi online ini pun bisa saja memudahkan berbagai pihak lainnya untuk mengakses dokumen itu. Bagi organisasi yang menginginkan transparansi baik, jelas ini pilihan yang bisa dicoba.
Pemahaman yang saya miliki melalui tulisan ini, bisa jadi juga dimiliki oleh pengurus organisasi-organisasi di berbagai tempat lainnya. Memang, tidak bisa dielakkan, bahwa pandemi Covid-19 memberi dampak meroketnya penggunaan media elektronik dari berbagai bidang. Perusahaan-perusahaan pun dengan sigap mengoptimalkan toko online-nya, karena mereka juga memahami bahwa pandemi ini tidak akan membuat kondisi sama seperti sebelumnya. Pasar diprediksikan akan lebih aktif dalam dunia digital, karena orang memahami betapa fatalnya jika tidak mengoptimalkan toko online; kiranya hal serupa seperti wabah ini terjadi kembali.
Bila perusahaan dan organisasi di berbagai tempat saja mulai mendigitalisasikan diri seelok mungkin, maka mengapa kita di UII juga tidak turut mendigitalisasikan diri?
Penulis adalah Ketua Umum Lembaga Dakwah Kampus Al-Fath UII